All · Letters to You

Tuan: Titik-titik

Taiping, 16 April 2018.

Pukul 01.42

Sudah pagi, tapi sa masih saja duduk santai di depan teman hidup, Susilo dorang pu nama. Belum genap setahun sa bakuteman deng dorang for cari sesuap dua suap nasi. Dorang bagitu kuat leh, tapi sa saja yang lemah memang.

Susilo belum bagitu tau seperti Susanto memang, mantan teman hidup terdahulu yang awet 7 tahun bakuteman berkelana cari rejeki yang so pasti sa harap itu dapa berkah. Tapi dorang kadang paham bahwa dorang pe teman hidup ini sedang menaruh rasa yang begitu dalam pada seseorang sehingga kadang trada dapa fokus. Di jam jam begini sa sebenarnya masih mencari nafkah deng Susilo, hanya saja terhenti sebab melihat notifikasi di layar sa pu gawai. Te Susilo le pasti tau depe alasan sa henti sejenak. Dorang pasti tahu sa sedang rindu. Rindu pada dorang yang depe nama muncul pada sa pu notifikasi di gawai. Ya, sa seringkali rindu pada yang tak rindu uwti tapi tratau kiapa dapa begitu dalam sa pu rasa ini.

Susilo

Betapa tidak dalam, Nona tiap hari suka sekali melihat sedang apa Tuan di sana. Nona selalu saja melihat deng jarak. Sudah sa katakan, sapa saja Nona. Biar dorang tahu, nona begitu rasa deng Tuan itu. Tapi Nona selalu bilang, begini lebih baik. Sa so cukup bahagia bagini.

Marleeee, bahagia darimana sup? Saya ini biar tak bernapas ini tau Nona pe hati itu sedih karena Tuan tak pernah anggap Nona itu ada. Kenapa dorang Manusia susah sekali berbicara hal jujur, padahal mereka punya mulut. Trada seperti saya. Atau sa yang tratau apa jadinya ketika semua Manusia berbicara jujur?

Sa pernah beberapa kali jumpa deng Tuan. Pertama kali, juga saat Nona so lama tida bakudapa deng Tuan ini. Di sebuah kedai kopi tak terlalu ramai, Tuan menghampiri Nona yang sedang mencari nafkah deng saya. Sa sempat pandangi Tuan pu muka. Pantas Nona begitu, Tuan ini manis sekali. Bagai candu, seperti gula-gula bagitu dang. Dorang pu senyum elelelele maleleh torang dorang buat. Belum lagi depe mata, dorang pe sorot mata tajam skali, tapi teduh bagai pohon ficus yang rindang skali. Satu lagi yang sa yakin Nona sangat suka juga selain dorang pu senyum, depe hidung dang, alamakjang tak da beda deng artis adipati itu sup.

Tutur kata, gerak gerik, tingkah laku, semua manis. Tuan yang baik, ide yang cemerlang, topik pembicaraan yang menarik, pantas Nona suka. Memang, sa perhatikan ketika Nona berbicara dengan Tuan, mereka bicara tentang segala hal yang bukan tentang mereka. Sa rasa Nona tak ingin malam itu cepat berlalu, berharap tak datang dulu si terang kalo kata Payung Teduh pu lagu.

Lepas jumpa deng Tuan, Nona cerita, Nona pe rindu terbayar tuntas malam itu. Sebab Nona tak pernah sangka, dorang dapa berjumpa lagi deng Tuan satu ini. Lalu sa nyeletuk sembarang, Nona so bilangkah deng Tuan? Lagi, Nona menggelengkan kepala dan tersenyum, “Trada yang perlu dibilang sayang, hanya ini perlu dirasa. Kalau dorang trada rasa, ya biar jo lei, mar mo biking apa, rasa itu sepenuhnya hak prerogatif tiap insan, trada boleh yang mo paksa untuk merasa.”

Sa memang belum banyak tau seperti Susanto tapi saya dapat rasa bagaimana Nona pe rasa. Mar pe bodoh sampe Tuan trada tau, apa le pura-pura tamau tau sto? Tapi biar, asal Nona rasa senang, Sa pun cukup senang.

Sa dapa ingat Nona pernah berucap “Melihat Tuan bahagia, Sa bahagia. Apapun itu. Sa hanya berharap apa yang Tuan impikan dapa terwujud deng mudah. Dapa liat dorang bertumbuh dan tau dorang dalam keadaan baik, itu saja cukup.” Sa terpaku, Nona ini macam manusia kah trada punya ego sama sekali?

Susanto

Sa sudah bilang deng Susilo supaya kasih Nona semangat selalu. Selain semangat mencari nafkah toh, bantu juga mencari Nona pe tambatan hati. Sebab, Sa curi dengar dari Nona waktu lalu, ia bahkan sampai batal menikah deng dorang pe lelaki salah satu penyebabnya tak lain adalah ia punya rasa yang begitu dalam pada Tuan ini. Hingga ia tak yakin deng lelaki itu. Belum lagi lelaki itu tak bisa bersabar saat Nona ingin meyakinkan dirinya.

Yang Sa tau, Nona pertama kali jumpa deng Tuan ini di Pantai. Nona tak tahu sama sekali mengenai apa-apa tentang Tuan. Yang ia tau, senyum Tuan membuat panas terik di siang itu menjadi teduh bagi Nona, bagi Nona pe hidup. Sa paham betul bagaimana Nona saat itu terkekang dengan segala hal yang terjadi.

Memang dasar dunia sempit ataulah bagaimana, Nona bisa berjumpa kembali deng Tuan. Bahkan Nona mengetahui nama Tuan pada malam itu. Malam menakjubkan, cerita Nona. Gara-gara Tuan menuliskan rangkaian kata-kata, Nona jadi bisa tau Tuan pu nama. Lalu dipertemuan selanjutnya Nona bahkan makin kian akrab deng Tuan satu itu.

Dari tanah yang sama, bahasa yang sama, doa yang sama, selera musik yang sama, hobi yang sama, walau sudah barang tentu profesi berbeda. Sa rasa, Tuan paham itu.

Tapi satu hal, Tuan, trada pernah tau. Jauh sebelum hari dimana Nona dan Tuan makin akrab, Nona so jatuh rasa terlebih dahulu.

Hanya saja, Nona terkadang ingin melupakan. Sebab, Tuan tak pernah skalipun menoleh padanya. Jika ada tuan lain datang, Nona coba mengalihkan. Tapi rasa tetap rasa, Tuanlah yang selalu ia dapa rasa.

Sa sesekali suka bertanya pada Susilo ketika jumpa di Rumah, apakah ada kabar tentang rasa Tuan deng Nona. “Masih sama, bahkan jauh kian memburuk. Tapi memang dasar Nona, ia hanya senyum saja. Nona satu ini memang suka sekali senyum marle sesedih apapun dorang. Heran sa dibuat Nona.”

Nona memang begitu, selama 5 tahun sudah saya menemani, hingga ia bertemu ni Tuan inilah yang dapa buat Nona lupa deng dia pe suka-suka. Nona so pernah dapa rasa yang bagini selama 7 tahun. Bukan dengan Nona pe lelaki. Marrr Nona ini kadang memang aneh. So ada yang sayang pa dia tapi Nona ta bisa lupa deng apa yang Nona suka. Marle yang Nona suka trada pernah satu rasa deng ni dia. Maka bagitu so.

Manusia memang suka skali bacari masalah, samua yang mudah dorang bekeng jadi sulit. Sa trada paham karna sa pun tak bernapas toh, sulit mengerti depe rasa.

Tuan

…….

[*penulis mencampurkan bahasa timur, maaf jika penuturan terlihat belum baik]

3 thoughts on “Tuan: Titik-titik

Leave a comment