All · Letters to You

Tuan: Titik-titik

Taiping, 16 April 2018.

Pukul 01.42

Sudah pagi, tapi sa masih saja duduk santai di depan teman hidup, Susilo dorang pu nama. Belum genap setahun sa bakuteman deng dorang for cari sesuap dua suap nasi. Dorang bagitu kuat leh, tapi sa saja yang lemah memang.

Susilo belum bagitu tau seperti Susanto memang, mantan teman hidup terdahulu yang awet 7 tahun bakuteman berkelana cari rejeki yang so pasti sa harap itu dapa berkah. Tapi dorang kadang paham bahwa dorang pe teman hidup ini sedang menaruh rasa yang begitu dalam pada seseorang sehingga kadang trada dapa fokus. Di jam jam begini sa sebenarnya masih mencari nafkah deng Susilo, hanya saja terhenti sebab melihat notifikasi di layar sa pu gawai. Te Susilo le pasti tau depe alasan sa henti sejenak. Dorang pasti tahu sa sedang rindu. Rindu pada dorang yang depe nama muncul pada sa pu notifikasi di gawai. Ya, sa seringkali rindu pada yang tak rindu uwti tapi tratau kiapa dapa begitu dalam sa pu rasa ini.

Susilo

Betapa tidak dalam, Nona tiap hari suka sekali melihat sedang apa Tuan di sana. Nona selalu saja melihat deng jarak. Sudah sa katakan, sapa saja Nona. Biar dorang tahu, nona begitu rasa deng Tuan itu. Tapi Nona selalu bilang, begini lebih baik. Sa so cukup bahagia bagini.

Marleeee, bahagia darimana sup? Saya ini biar tak bernapas ini tau Nona pe hati itu sedih karena Tuan tak pernah anggap Nona itu ada. Kenapa dorang Manusia susah sekali berbicara hal jujur, padahal mereka punya mulut. Trada seperti saya. Atau sa yang tratau apa jadinya ketika semua Manusia berbicara jujur?

Sa pernah beberapa kali jumpa deng Tuan. Pertama kali, juga saat Nona so lama tida bakudapa deng Tuan ini. Di sebuah kedai kopi tak terlalu ramai, Tuan menghampiri Nona yang sedang mencari nafkah deng saya. Sa sempat pandangi Tuan pu muka. Pantas Nona begitu, Tuan ini manis sekali. Bagai candu, seperti gula-gula bagitu dang. Dorang pu senyum elelelele maleleh torang dorang buat. Belum lagi depe mata, dorang pe sorot mata tajam skali, tapi teduh bagai pohon ficus yang rindang skali. Satu lagi yang sa yakin Nona sangat suka juga selain dorang pu senyum, depe hidung dang, alamakjang tak da beda deng artis adipati itu sup.

Tutur kata, gerak gerik, tingkah laku, semua manis. Tuan yang baik, ide yang cemerlang, topik pembicaraan yang menarik, pantas Nona suka. Memang, sa perhatikan ketika Nona berbicara dengan Tuan, mereka bicara tentang segala hal yang bukan tentang mereka. Sa rasa Nona tak ingin malam itu cepat berlalu, berharap tak datang dulu si terang kalo kata Payung Teduh pu lagu.

Lepas jumpa deng Tuan, Nona cerita, Nona pe rindu terbayar tuntas malam itu. Sebab Nona tak pernah sangka, dorang dapa berjumpa lagi deng Tuan satu ini. Lalu sa nyeletuk sembarang, Nona so bilangkah deng Tuan? Lagi, Nona menggelengkan kepala dan tersenyum, “Trada yang perlu dibilang sayang, hanya ini perlu dirasa. Kalau dorang trada rasa, ya biar jo lei, mar mo biking apa, rasa itu sepenuhnya hak prerogatif tiap insan, trada boleh yang mo paksa untuk merasa.”

Sa memang belum banyak tau seperti Susanto tapi saya dapat rasa bagaimana Nona pe rasa. Mar pe bodoh sampe Tuan trada tau, apa le pura-pura tamau tau sto? Tapi biar, asal Nona rasa senang, Sa pun cukup senang.

Sa dapa ingat Nona pernah berucap “Melihat Tuan bahagia, Sa bahagia. Apapun itu. Sa hanya berharap apa yang Tuan impikan dapa terwujud deng mudah. Dapa liat dorang bertumbuh dan tau dorang dalam keadaan baik, itu saja cukup.” Sa terpaku, Nona ini macam manusia kah trada punya ego sama sekali?

Susanto

Sa sudah bilang deng Susilo supaya kasih Nona semangat selalu. Selain semangat mencari nafkah toh, bantu juga mencari Nona pe tambatan hati. Sebab, Sa curi dengar dari Nona waktu lalu, ia bahkan sampai batal menikah deng dorang pe lelaki salah satu penyebabnya tak lain adalah ia punya rasa yang begitu dalam pada Tuan ini. Hingga ia tak yakin deng lelaki itu. Belum lagi lelaki itu tak bisa bersabar saat Nona ingin meyakinkan dirinya.

Yang Sa tau, Nona pertama kali jumpa deng Tuan ini di Pantai. Nona tak tahu sama sekali mengenai apa-apa tentang Tuan. Yang ia tau, senyum Tuan membuat panas terik di siang itu menjadi teduh bagi Nona, bagi Nona pe hidup. Sa paham betul bagaimana Nona saat itu terkekang dengan segala hal yang terjadi.

Memang dasar dunia sempit ataulah bagaimana, Nona bisa berjumpa kembali deng Tuan. Bahkan Nona mengetahui nama Tuan pada malam itu. Malam menakjubkan, cerita Nona. Gara-gara Tuan menuliskan rangkaian kata-kata, Nona jadi bisa tau Tuan pu nama. Lalu dipertemuan selanjutnya Nona bahkan makin kian akrab deng Tuan satu itu.

Dari tanah yang sama, bahasa yang sama, doa yang sama, selera musik yang sama, hobi yang sama, walau sudah barang tentu profesi berbeda. Sa rasa, Tuan paham itu.

Tapi satu hal, Tuan, trada pernah tau. Jauh sebelum hari dimana Nona dan Tuan makin akrab, Nona so jatuh rasa terlebih dahulu.

Hanya saja, Nona terkadang ingin melupakan. Sebab, Tuan tak pernah skalipun menoleh padanya. Jika ada tuan lain datang, Nona coba mengalihkan. Tapi rasa tetap rasa, Tuanlah yang selalu ia dapa rasa.

Sa sesekali suka bertanya pada Susilo ketika jumpa di Rumah, apakah ada kabar tentang rasa Tuan deng Nona. “Masih sama, bahkan jauh kian memburuk. Tapi memang dasar Nona, ia hanya senyum saja. Nona satu ini memang suka sekali senyum marle sesedih apapun dorang. Heran sa dibuat Nona.”

Nona memang begitu, selama 5 tahun sudah saya menemani, hingga ia bertemu ni Tuan inilah yang dapa buat Nona lupa deng dia pe suka-suka. Nona so pernah dapa rasa yang bagini selama 7 tahun. Bukan dengan Nona pe lelaki. Marrr Nona ini kadang memang aneh. So ada yang sayang pa dia tapi Nona ta bisa lupa deng apa yang Nona suka. Marle yang Nona suka trada pernah satu rasa deng ni dia. Maka bagitu so.

Manusia memang suka skali bacari masalah, samua yang mudah dorang bekeng jadi sulit. Sa trada paham karna sa pun tak bernapas toh, sulit mengerti depe rasa.

Tuan

…….

[*penulis mencampurkan bahasa timur, maaf jika penuturan terlihat belum baik]

All · GIS · Learning Time

How to Install ArcGIS 10.4 ? | Belajar ARCGIS #2

arcgis

 

Hai gaes!

Tonite i will write this blog full in English for first time. (Eh first time or not? I forgot). Let me show you the other version of ArcGIS. Here it is ArcGIS 10.4 (it’s not a new version, the new version is ArcGIS 10.6, but i don’t have any crack of that version).So i will show you how to install ArcGIS 10.4.

First you must have the software, if you don’t have you can download here: ArcGIS 10.4  (fyi, it just crack, not the original ones. If you want to buy the original, you can buy here: ArcGIS for Personal Use )

After that, unzip the .Rar. And wil

2018-01-10_22-48-01

And open the folder ESRI ArcGIS for Desktop 10.4.1

2018-01-10_22-50-11

Next, you must install ArcGIS Desktop. Before install you must ensure your laptop is ready to install. How to prepare it?

  1. Close all applications on your computer.
  2. Verify that your computer meets the system requirements. It means, your computer should have Microsoft .NET Framework Version 4.5. If .NET Framework 4.5 is not detected on your machine, the ArcGIS for Desktop setup will not proceed.
  3. If you will be using ArcGIS Desktop Concurrent Use, determine the name of the license manager you will be using for ArcGIS Desktop.
  4. Run the ArcGIS Desktop installation program : click the ArcGIS_Desktop_1041_151727.exe

During the installation of ArcGIS for Desktop

  1. Read the license agreement and accept it, or exit if you do not agree with the terms.
  2. The setup program provides an option for a Complete installation, which installs the applications, style files, templates, and optionally licensed extensions. The Custom installation option allows you to choose specific installation components. installation folder
  3. If Python is selected for installation, you must choose the installation location or select the default. The previous Python installation location will also be retained during the upgrade. See Python requirements for more information. Python folder
  4. When the setup is complete the ArcGIS Administrator Wizard is displayed, allowing you to configure a Concurrent or Single Use authorization. Refer to The ArcGIS Administrator for details. ArcGIS Administrator Wizard
  5. You just leave it and then next install the Licence Manager

After finish install the Desktop, you must install the licence. Follow the steps below to install, authorize, and start the license manager:

  1. Run ArcGIS_License_Manager_Windows_104_149423.exe
  2. Follow the instructions to install the license manager to the desired location. At the end of the installation, ArcGIS License Server Administrator appears.
  3. Leave the authorization process for a while
  4. Copy all the folder “Crack” to each folder that the software was saved (C:/Program Files (x64)\ArcGIS\Desktop 10.4\ and C:/Program Files (x64)\ArcGIS\License 10.4\) and paste there.
  5. After that, complete the authorization process and start the license service. If you choose to do this step at a later time, on Windows, you can access License Server Administrator from Start > Programs > ArcGIS > License Manager > License Server Administrator.
  6. Click Finish to close the wizard and return to License Server Administrator

Now open your ArcMap from your Windows!

I will show you a video on youtube, but it’s still on editing! Will be show it soon, dear!

 

Happy GIS-ing!

All · GIS

Belajar GIS #1

content_ats_software-depot_arcgis-logo

 

Sebenarnya udah lama banget pingin bikin blog yang rada manfaat. Yang bisa dimanfaatkan semua orang, tapi entah bingung entah malas, beda tipis. Bingung karena mikir keahlian apa yang saya milikin yang bisa dimanfaatkan khalayak, secara hobinya makan sama jalan. Cuma untuk bikin review tentang makanan dan tempat yang gue kunjungi, belum sempat-sempat karena kesibukan kemalasan saya.

Terus tetiba punya ide, ya biar ga malas berbagi aja yang saban hari dikerjain. Jadi sehari-hari yang berhubungan dengan kerjaan saya yaitu GIS. Apa sih itu GIS?

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG mulai dikenal pada awal tahun 1980-an. Sejalan dengan berkembangnya perangkat komputer, baik perangkat lunak maupun perangkat keras – SIG berkembang sangat pesat pada tahun 1990-an.

Secara umum SIG atau Geographic Information System (GIS), merupakan suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis.

SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Aplikasi SIG yang baik adalah apabila aplikasi tersebut dapat menjawab salah satu atau lebih dari 5 (lima) pertanyaan dasar dibawah ini, yaitu:
a. Lokasi, dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai lokasi tertentu.
b. Kondisi, dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kondisi dari suatu lokasi.
c. Tren, untuk melihat tren dari suatu keadaan.
d. Pola, dapat dipergunakan untuk membaca gejala-gejala alam dan mempelajarinya.
e. Pemodelan, dapat digunakan untuk menyimpan kondisi-kondisi tertentu dan mempergunakannya untuk memprediksi keadaan di masa yang akan dating maupun memperkirakan apa yang terjadi pada masa lalu.

Kelima kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya.

Tertarik untuk belajar? Yuk install dulu softwarenya! Biasanya untuk mengolah data berbasis spasial ini yang sering digunakan yakni ArcGIS, ArcView dan QGIS. Untuk ArcGIS dan ArcView, Sebenarnya software ini berbayar dan cukup terbilang mahal. Sedangkan QGIS adalah aplikasi open source yang bisa diunduh secara gratis. Selain gratis, keunggulan QGIS juga ringan saat dilakukan penginstallan juga pemakaiannya.

Namun, saya tidak terbiasa menggunakan QGIS. Yang saya gunakan yakni ArcGIS 10.3. Untuk mengunduh nya, bisa di : ArcGIS 10.3

Setelah di unduh, berikut tahapan-tahapan untuk install :

1)  Pastikan sebelumnya tidak ada aplikasi ArcGIS yang terinstall di laptop kamu!
2)  Buka folder ArcGIS 10.3 -> Desktop -> Setupfiles -> install  setup files
3)  Buka folder ArcGIS 10.3 -> License Manager -> Setupfiles -> install the license server

 

*namun yang perlu di garis bawahi ini adalah software crack-an bukan yang aseli! Kalo mau beli yang aseli boleh banget! Ka Poce biar berkah rejekinya! Bisa beli di sini ArcGIS for Personal Use

 

Jika ingin menggunakan QGIS, dapat diunduh di : QGIS

Selamat mencoba ya!

Saya juga akan upload gimana cara install ArcGIS 10.3 di Youtube! *Sementara video masih dalam tahap editing*

All

Late saturday nite’s post : Marlina Si Pembunuh Empat Babak

marlina
Marlina dan Novi

Percaya sesuatu yang tanpa direncanakan pasti jadi ketimbang pertemuan yang direncanakan? Ya, minggu lalu, tanpa rencana dan tanpa dijadwalkan, saya bertemu dan lanjut nonton Marlina Si Pembunuh Empat Babak yang baru tayang beberapa hari di Cinema dengan kawan lama, yang mungkin terakhir kali nonton bareng beliyo di kota rantau dahulu sewaktu AADC 2 tayang. Pulang dari situ, kami malah hampir ketilang. Loh, bukan. Bukan. Saya bukan mau bernostalgila jaman lalu dalam tulisan ini.

TIM

Saya ingin memberikan komentar mengenai film yang saya tonton minggu lalu, Marlina Si Pembunuh Empat Babak, yang dimana ide film ini digagas oleh Garin Nugroho dan disutradarai oleh Mouly Surya. Marlina, yang diperankan oleh Marsha Timothy, adalah janda yang ditinggal mati oleh suami dan anaknya, Topan. Selain acting Ka Caca (sok akrab banget deh gue manggilnya) yang oke serta tanah Sumba yang selalu menawan, saya cukup terpikat dengan Dea Panendra yang berperan sebagai Novi, wanita tangguh yang tengah hamil 10 bulan namun berperan besar dalam hidup matinya Marlina. Sutradara menggambarkan Novi sebagai wanita Sumba yang berfisik sangat kuat, terlihat dari beberapa scene dalam empat babak, seorang ibu hamil tua yang diancam, dituduh, dipukul, ditendang hingga jatuh tersungkur namun tetap strong dan tak goyah membantu kasus yang dialami kawan sesama perempuan. Akting mba Dea disitu membuat saya cukup terpukau. Aneh ya saya lebih menceritakan peran kedua terlebih dahulu dibanding peran utama, biar ga mainstream sih ceritanya.

Oke, sekarang tentang Marlina. Marlina, janda dengan segala ketakutannya malah terbilang pemberani karena tindakannya. Kalo (mungkin) saya berada di posisi Marlina, awalnya saya berpikir bakalan kabur sedari awal setelah si Markus, ketua perampok yang datang lebih dulu, bilang teman2nya juga akan “datang”. Datang yang tak sekedar mengambil Marlina pu ternak karena dorang tak dapat membayar hutang, tapi datang juga untuk menidurinya bergiliran di depan mayat suaminya yang duduk dipojokkan. Di scene tersebut, Marlina digambarkan sebagai penganut Merapu, yang merupakan kepercayaan lokal orang Sumba, dimana penganutnya memuja arwah para leluhur, salah satu tradisinya yakni mengawetkan mayat (dalam kasus Marlina yakni mengawetkan mayat suaminya) dengan posisi mayat yang didudukkan dengan tangan memangku dagu, persis seperti bayi yang masih berada di dalam rahim, kemudian mayat tersebut dibalut kain tenun ikat Sumba Timur. Menurut kepercayaan mereka, yang saya baca, kain ikat yang diwarna dengan pewarna alam memiliki zat kimia yang dapat membantu mengawetkan mayat. Selain itu, yang saya ketahui ciri khas sumba dalam film ini juga ditunjukkan dengan kalung berbentuk rahim yang digunakan Marlina, sebuah simbol perempuan dari tanah Sumba. Komentar lain setelah bincang dengan kawan yang sudah hilir mudik ke tanah Sumba, ia bilang, pakaian Marlina terlalu bagus untuk seorang mamak-mamak Sumba. Mungkin begitu sudah yang dapat saya komentari sedikit mengenai adat Sumba pada awal film ini.

Seiring jalannya film, yang masih babak satu ini, saya berpikir, saya bakal kabur kemana? Pasti sulit untuk ngumpet di padang rumput kayak Sumba begitu.  Rumah Marlina jauh dari mana-mana. Bisa apa saya ketika mereka malah menemukan saya di padang ilalang yang sepi. Kalau aja si Marlina kabur dari awal seperti yang ada dipikiran saya, boleh jadi dia yang akan mati terbunuh, diperkosa 7 orang dengan cara yang lebih sadis kaena berusaha kabur dari dorang. Ketidakgegabahannya dalam bertindak bisa dijadikan contoh untuk sedikit berpikir cerdas dalam mengambil setiap keputusan dan kepala seidkit lebih dingin. Namun selebihnya, apakah ketika dalam keadaan terdesak, bahkan nyawa kita yg jadi taruhannya, untuk menyelamatkan diri sendiri, dibenarkan tindakan untuk melawan dengan membunuh?

Tenang, itu baru babak pertama. Seperti yang terpampang jelas di judulnya, kisah Marlina terbagi dalam empat babak: PerampokanPerjalananPengakuan, dan Kelahiran. Masing-masing bukan hanya merekam perjalanan seorang perempuan korban perkosaan dalam mencari keadilan, tapi juga potret sosial-budaya manusia yang sudah terlilit benang kusut patriarki. Marlina tampil sebagai simbol perempuan etnis, dari kelas miskin, tidak berpendidikan, dan tinggal di daerah terpencil. Ia memang tak pernah baca buku feminisme-nya Judith Butler (mungkin), tapi Marlina begitu yakin kalau keadilan atas hal yang menimpanya harus ditegakkan. Ia pula tak merasa berdosa, telah membunuh kelima lelaki yang telah merampok dan berencana memerkosanya. Namun, ia merasa perlu melaporkan hal yang ia alami kepada petugas yang berwenang atas kasus perampokan dan pemerkosaan yang ia alami.

Sambil menenteng kepala Markus, yang mulai pucat kehabisan darah, babak kedua dimulai. Perjalanan dengan berbagai rintangan Di babak ini, menurut saya, juga kuat menunjukan metafora kesetaraan gender, salah satunya yakni adegan dua perempuan pipis di balik semak pinggir jalan sambil ngobrol ngalor ngidul. Proof that memang laki2 doang apa yang bisa pipis dipinggir jalan begitu? Selain itu, dua perempuan ini juga memasukan obrolan mengenai seks, yang kita tahu biasa pembicaraan dilakukan oleh laki-laki dan masih tabu diperbincangkan oleh kaum wanita. Namun lagi, Mouly menggambarkan wanita Sumba didalam film ini, terlihat biasa dengan keadaan seperti hal – hal diatas.

Dalam babak ini juga menyuguhkan potret cerita yang miris di pelosok Indonesia dimana akses dan moda transportasi yang sulit di Sumba tergambar lewat scene dimana Marlina mesti menunggu bus truk demi menjangkau aparat kepolisian, juga Novi yang karena kurangnya akses kesehatan sehingga mengharuskan ke kota ikut menunggu kendaraan  yang lewatnya hanya beberapa kali dalam sehari. Lalu ketika bus tak bisa diandalkan, Marlina berkawan dengan kuda yang ditungganginya sampai ke kantor polisi.

Babak selanjutnya yakni Pengakuan. Diawali dengan Marlina yang kemudia tiba di depan kantor polisi. Namun, ia ragu untuk menceritakan pengakuan sebenarnya kepada aparat. Lalu ia menitipkan kepala tersebut disebuah kedai dimana anak pemilik kedai bernama sama dengan nama anak Marlina, Topan. Setelah itu barulah, Marlina pergi ke kantor polisi, namun sesuai dugaan, aparat tak bisa diharapkan menuntaskan kasus Marlina.

Sebuah kritik sosial yang cukup cerdas. Pengalaman Marlina sebagai perempuan Sumba yang ditinggal mati suaminya menunjukkan bahwa masih banyak perempuan yang mengalami berbagai macam kekerasan, bahwa pihak yang seharusnya memberikan rasa aman dan keadilan pun berlaku diskriminatif kepada perempuan. Tergambar pada saat Marlina melapor ke kantor polisi, ia harus menunggu (sementara para polisi laki-laki itu sedang sibuk – bermain ping pong), sampai akhirnya laporannya ditangani oleh seorang petugas. Tentu saja kita melihat sesuatu yang kita akrabi di Indonesia: kelembaman birokrasi. Apalagi kelembaman birokrasi di daerah. Penegak hukum ternyata dibatasi oleh berbagai hal, mulai dari perspektif mereka yang mengabaikan pengalaman korban (baca: perspektif laki-laki yang mengabaikan kesengsaraan korban pemerkosaan, disini terlihat sekali bahwa wanita dianggap sangat rendah oleh laki-laki, sepertinya kejadian diperkosa suatu hal yang biasa disana), hingga kekurangan perangkat dan fasilitas untuk memenuhi prosedur standar mereka sendiri. Sehingga Marlina tak bisa mengandalkan aparat untuk menyelesaikan kasusnya, hingga ia tetap mengurungkan niat untuk menceritakan yang sebenarnya. Dari adegan ini, menurut saya, Marlina dengan tegas menempatkan kegagalan negara untuk membangun birokrasi yang memadai bagi perlindungan warganya. Bukan hanya hukum tidak menjangkau wilayah tersebut, tetapi juga kelembaman birokrasi membuat upaya distribusi keadilan tidak bisa dijalankan. Maka jangan heran ketika perempuan seperti Marlina – dibantu oleh Novi, mengambil alih segala sesuatunya untuk menyelesaikan urusan mereka hingga tuntas.

Babak terakhir yakni kelahiran, digambarkan perjuangan seorang ibu yang dalam penantian seorang bayinya dihimpit dengan keadaan terancam nyawa akibat kawan yang ia bantu hidupnya namun malah justru mengancam nyawa ia beserta bayinya, bukan itu saja bahkan suaminya tak lagi percaya dan menuduh ia berselingkuh.  Novi tetap kuat dan tak tanggung-tanggung membela Marlina, menyelamatkan nyawa Marlina dari kebengisan Franz (yang awalnya dendam karena ingin kepala ketua gengnya yang dipenggal oleh Marlina kembali) juga meniduri Marlina. Novi dengan gagahnya terlihat memegang parang panjang dan menebas kepala Franz. Hal tersebut akhirnya yang dapat membuat Novi kontraksi dan melahirkan. Boleh jadi, jika ia tak melakukan hal tersebut, ia justru tak pernah melihat kehadiran anaknya. Ada yang mati, juga ada kehidupan baru, dari kelahiran lewat rahimnya.

Entah kenapa yang sangat saya sukai, para perempuan dalam film ini ditampilkan gagah berani, sementara para laki-lakinya terlihat (maap seribu maap) begitu cemen, bodoh dan rendah. Melihat senyum bengis Marlina ketika para perampok tumbang satu per satu karena racunnya, melihat Novi dan Mamak-mamak Sumba yang tidak menunjukkan takut berlebihan pada kepala Markus yang dijinjing Marlina—sebagaimana ketakutan yang ditunjukkan sopir truk atau segerombolan pria yang ambyar turun dari bak truk, begitu menarik di mata saya. Peran perempuan di film ini menggambarkan peran besar seorang perempuan dalam rumah tangga. Film ini juga membuka mata bahwa kebanyakan wanita hidup di antara berusaha melawan dan mengikuti sistem, dimana sebagian besar dari negara ini adalah penganut patriarki, wanita akan melihat sampai kapan mereka mampu. Akan tetapi, adalah hal yang memungkinkan untuk menjadi lebih daripada itu. Bahwa wanita, juga pria, bisa mengambil aksi tanpa harus menyalahkan siapa-siapa. Bahwa setiap kita bisa menjadi tokoh utama dalam kehidupan sendiri. Marlina bagi saya merupakan sebuah upaya warga negara – khususnya para perempuan- untuk menyelesaikan urusan mereka sendiri ketika negara absen dan dunia lelaki terus bising dalam melecehkan kaum perempuan.

And there’s one left message from after watching Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, beside you, guys, must watch this movie before late karena cukup layak Film ini ditonton, apalagi dengan Lazuardi yang beberapa kali dilantunkan oleh Chairil begitu asik dalam film ini.

Hmmm, can you take me to Sumba someday?

 

All

Kitab Suci Seorang Jurnalis?

Agama saya adalah jurnalisme.jpg

Buku ini sudah lama jadi bucketlist karena ke-kepoan saya pada kitab sucinya para jurnalis. Waktu pertengahan tahun lalu, buku ini sudah sempat saya beli secara online namun tidak jadi dikirimkan ke alamat saya, alih-alih malah saya jadikan kado sebagai tanda perkenalan juga sekaligus hadiah ulang tahun kawan baru saya, seorang jurnalis muda. (Mungkin sampai saat ini orangnya juga tidak sadar karena lalu saya kirim tanpa nama beserta Baju Bulan Joko Pinurbo sebagai sisipan tambahan eh atau SGA ketika jurnalisme dibungkam, saya pun lupa). Lalu, saya menunda kembali memilikinya walau sesekali ketika berkunjung ke tempat teman (yang juga jurnalis), saya curi-curi baca laman per lamannya. Hingga akhir bulan kemarin, buku ini ada di genggaman saya. And finally, “A9ama saya adalah jurnalisme” berhasil saya lahap ditengah-tengah jadi supirnya saya di hari kompensasi untuk keluarga yang sering banget ditinggal kerja demi sesuap nasi dan spp pascasarjana yang entah kapan selesainya ini, sehingga butuh belasan hari baru terselesaikan dengan baik.

Eh intronya kepanjangan ya?

Oke, saya akan mulai review buku dengan tebal 286 halaman ini yang sudah terbit 7 tahun silam (Iya, tau. Saya cukup ketinggalan zaman untuk membacanya, tapi lebih baik terlambat daripada tidak tahu sama sekali toh?). Buku ini ditulis oleh Andreas Harsono, bagi yang belum tahu, beliau adalah seorang jurnalis senior yang telah mengecap pengalaman bekerja di berbagai media, baik dalam negeri maupun internasional. Beliau juga seorang peneliti untuk Human Rights Watch dan pernah menerima beasiswa jurnalistik idaman ‘Nieman Fellowship’ dari Universitas Harvard. Pada kesempatan itu Beliau mengenal Bill Kovach -salah satu penulis kitab The Elements of Journalism. Pertemuannya tersebut sepertinya berperan besar dalam kelanjutan kariernya sebagai jurnalis. Pada buku ini terlihat seberapa besar rasa hormat dan kekagumannya kepada Bill Kovach yang reputasinya sulit diragukan oleh siapa pun. Dalam memandang persoalan-persoalan pada buku ini, sosok jurnalis tersohor itu sering kali menjadi referensi utama beliau.

A9ama saya adalah jurnalisme merupakan antologi dari tulisan-tulisan di Blog beliau (bagi yang belum tahu http://www.andreasharsono.net adalah laman jejaring beliau). Buku ini dibagi menjadi empat bagian: (1) Laku wartawan, (2) Penulisan, (3) Dinamika Ruang Redaksi dan (4) Peliputan. Pembagian ini, menurut komentar dari Syarifudin, memang lazim dipakai dalam pendidikan jurnalisme. Saya tak begitu paham, karena saya tak pernah terjun langsung ke dalam dunia ini. Yang saya tangkap, buku ini mengulas dan mengkritik masalah-masalah seputar jurnalisme per kasus, diantaranya beliau mengkritisi terminologi jurnalisme islami, penggunaan byline dan firewall yang banyak absen di media lokal, perihal penyebutan referensi kedua, dan tren jurnalis melibatkan diri sebagai aktor percaturan politik. Sementara membacanya, karena belum paham betul beberapa istilah, sembarilah saya membuka Google saat membaca, mencari istilah kosakata yang menurut saya baru, namun juga tak  terlalu sering sebab beberapa beliau menerjemahkan dari kata-kata tersebut dalam bukunya itu.

Dalam benak saya yang tidak begitu familiar dengan jurnalisme karena tidak pernah terjun langsung di dalamnya (walau disekitar saya dikelilingi oleh kawan yang berprofesi ini, dan bahkan pernah sempat punya mantan pacar yang entah kenapa kami putus padahal dulu pengen banget punya pasangan hidup berprofesi sebagai jurnalis), seorang wartawan haruslah independen. Maksudnya? Ya independen, ya netral. Andreas justru memaparkan, netral bukanlah prinsip jurnalisme, melainkan semangat bersikap dan berpikir independen dari obyek yang diliput. Jika wartawan ingin beropini, bisa saja, itu gunanya kolom opini. Namun perlu diingat, wartawan harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang termasuk sembilan elemen jurnalisme yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda, mendapatkan kepercayaan dari pihak lain serta menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain. Sehingga dari situlah yang membedakan antara wartawan dengan juru penerangan atau propaganda.

Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Sehingga, menurut saya untuk menjadi seorang wartawan, tidaklah semudah mengikuti kontes idola-idolaan (walau bagi saya mungkin ini sulit juga, atau anggaplah kontes menggambar, yang sering kali saya mendapat juara selagi di bangku sekolah dahulu). Menjadi seorang jurnalis yang baik butuh waktu dan pembelajaran terus-menerus, keberlanjutan dari pemahaman tentang segala. Kalau boleh saya simpulkan dari buku ini, seorang jurnalis itu harus pintar, logis, berwawasan luas, kritis dan harus banyak membaca. Intinya, menjadi jurnalis yang baik itu bukan perkara mudah, sepertinya.

“Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat.” Bill Kovach (hal. 10)

Salah satu yang menarik yang dibahas yakni mengenai rendahnya mutu pendidikan jurnalisme di Indonesia. Contoh yang ia ambil langsung adalah almamater universitas sebelah, yang dinilai punya ‘cacat’ di ketersediaan tenaga pengajar. Dari 16 dosen tetap di Jurusan Komunikasi, hanya 3 yang punya latar belakang di bidang jurnalisme. Merujuk kepada Bill Kovach diatas, semakin baik jurnalisme, maka semakin baik pula kehidupan masyarakatnya. Untuk mendapatkan jurnalisme yang bermutu tentu saja dari jurnalis-jurnalis yang bermutu. Memang dari mana lagi? Menurut saya ini yang menjadi catatan terpenting dalam buku ini adalah bagaimana mengelola pendidikan jurnalisme di Indonesia menjadi lebih baik lagi sebab pendidikan jurnalisme adalah salah satu kunci meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. Terlihat saat ini sepertinya mutu jurnalis sudah makin meningkat ketimbang kondisi 7 tahun silam saat beliau menuliskan buku ini. Lihat saja, berita yang ada kini banyak yang hilir mudik kita lihat sangat informatif bahkan edukatif. Media independen bermunculan dimana-mana, walau masih juga terlihat media bayaran, yang acapkali memberikan suguhan informasi yang bias. Namun pembaca saat ini sudah dapat jeli memilah mana media yang dipenuhi jurnalis bayaran, mana yang independen. Namun walau terbilang sebagian besar saat ini mutu jurnalis sudah makin meningkat, tetaplah seorang jurnalis harus memiliki sembilan elemen jurnalisme, yang dicetuskan oleh Kovach beserta rekannya Tom Rosenstiel, dalam buku mereka berjudul The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, yang beberapa elemen tadi telah disebutkan diatas, perlu dipelajari dan dipahami serta diimplementasikan oleh jurnalis mana saja untuk mendekati menjadi seorang jurnalis bermutu tinggi.

Pada bab Dinamika Ruang Redaksi, Beliau juga tak enggan melayangkan kritiknya pada sejumlah kasus jurnalisme yang melibatkan media ternama. Diantaranya, seperti isu Tempo Vs Tommy Winata (2003) yang berujung pada diskursus penggunaan sumber anonim. Beliau menyatakan jurnalis bukan hanya bicara soal misi yang baik, tapi juga soal prosedur yang baik. Praktik pemakaian sumber anonim adalah krusial, karena tak memberi kesempatan kepada audiens untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan mereka pada sumber bersangkutan. Selain itu, menarik menurut saya karena juga dibahas kasus liputan Gerakan Atjeh Merdeka serta peliputan di daerah konflik lain seperti Papua, dan Pontianak. Indonesia ternyata menyimpan begitu banyak luka, dan media turut berdosa karena menyembunyikan bahkan menyimpangkan fakta-fakta tersebut. Liputan ini menimbulkan konflik bias kebangsaan atas nama busuk nasionalisme di kalangan wartawan.

Hubungan dari analogi yang beliau paparkan dengan judul yang beliau angkat, saya menangkap kesan seolah judul tersebut dikonotasikan pada sebuah keniscayaan akan suatu kepercayaan. Menurut beliau dalam obrolan santainya di Atmajaya, Agama itu bisa juga diartikan dalam bahasa Jawa Ageman (dari bahasa Sanskerta) yang berarti “baju kebesaran”. Dalam bahasa Inggris, baju terbaik disebut “Sunday best” atau pakaian untuk pergi ke gereja pada hari Minggu. Pakaian untuk pergi menjalankan ritual ini belakangan dipakai untuk menyebut doktrin yang jadi dasar keperluan berpakaian terbaik tersebut. Di India, “agama” berarti filsafat Hindustan atau doktrin Hinduisme. Terminologi ini dipakai dalam Bahasa Indonesia sebagai “keimanan.” Namun menurut Elga Ayudi yang ikut dalam obron tersebut, dalam hal ini beliau tidak bicara tentang iman, tetapi pakaian, pakaian kebesaran. “Nah, baju kebesaran saya adalah jurnalisme.” Ada kebanggaan yang dalam kalimat tersebut terhadap cita-cita dasar jurnalisme dalam pernyataan tersebut yang kemudian ia tuliskan dalam buku tersebut.

Masih banyak lagi yang dibahas sehingga kita yang tidak banyak tahu mengenai jurnalisme, menjadi sedikit lebih tahu bahwa yang berada dalam berita itu boleh jadi bukanlah suatu kebenaran hakiki, malah (mungkin) hanya ‘opera sabun’ yang masuk dalam berita. Buku ini terbilang layak bagi yang ingin memperkaya pemahaman  pemula ataupun awam mengenai konteks jurnalisme di Indonesia.

Selamat membaca untuk yang ingin membacanya! Kalo saya mah kembali menyelesaikan apa yang belum selesai aja dulu [baca: Proposal Thesis].

All

Untitled 1 #Cerbung

Percakapan dua makhluk ditengah barak tak bersinyal di sore menuju senja.

“Seyakin apa memangnya kamu sama dia?” Tanya Ibnu ke Tya yang sedang asik hilir mudik di depan teras yang dipenuhi batu2 kerikil yang sedang panas-panasnya. Tya menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Ibnu “Ya Seyakin ketika dia ke rumah hari ini minta ke orangtuaku untuk nikahin aku, besok ke KUA juga aku mau deh.” Ibnu mengernyitkan kedua alisnya. “Tanpa mahar dan pesta? Kamu dah ngebet kawin banget apa?”
Tya melempar batu kerikil pipih berwarna merah ke arah Ibnu “Tadi kamu kan tanya seyakin apa aku sama dia. Kalo bukan dia juga mungkin belum tentu mau lah. Cuma masalahnya adalah dia yang ga seyakin itu sama aku, lur. Sedih yah. One sided love kaya di novel-novel cheeklit or teenlit lah.” Tya kemudian duduk di pinggir teras dengan lantai berkayu, ia menghela nafas yang cukup panjang.
“Lagi aku mah apa atuh. Cantik, enggak, gendut iya. Pinter, boro. Ipk pas-pasan. Pns? Bukan, cuma buruh harian kaya gini. Ga ada yang patut dibanggakan lah dari aku.”
“Dih, ga boleh gitu. Kali aja dia juga mikir hal yang sama, jadi takut juga maju. Takut dengan penolakan. By the way, dia tau kan perasaanmu ke dia?” Tya menggelengkan kepalanya. Ibnu memutarkan kedua bola matanya “Yaiyalah dia ga yakin, boro2 yakin, tau aja engga. Yak.. yak, sampe kapan mau kaya gini? Udah dua tahun loh. Mau dipendam gitu aja? Aku liat kalian punya chemistry yang kuat.”
“Hahaha situ paranormal? Udahlah Nu, dia juga udah mau nikah kok. And i am fine with that. Without i am doing anythin, If God creates us to be soulmate, yes we should be together someday. If God say no, we aren’t. I dont wanna be a bad person like a go, you know that. If he really has the same feeling to me, he will come to my house, meet my parents. If he doesn’t he’ll choose to be there, her house.”

Hening.

“Lagi, kalo sampe jadi juga, emang kamu mau tinggal di pelosok gitu?” Tya menoyor kepala Ibnu sembari masuk ke dalam. “Kamu pikir kita tinggal di sini bukan pelosok? Oya, satu kelebihanku, aku mah bisa tinggal dimana saja, dikasih makan apa saja Nu. Haha Ngopi heula lah biar cerdas yuk. Kata pepatah yang sedang ngehits, hidup dimulai dari secangkir kopi.”

Ibnu masih terheran-heran, apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan yang ia kenal semenjak masa-masa di Sekolah dulu. Kali ini Tya tak terlihat seperti Tya yang memiliki ego yang tinggi seperti seorang Leo. Ia lebih memilih untuk diam dan tak mengambil langkah apapun. Beda ketika beberapa tahun lalu jika ia menginginkan sesuatu yang ia suka, ia akan mengorbankan segala cara untuk mendapatkannya. Bahkan ia sampai mencari kerja ke negeri seberang hanya untul mengetahui kampung halaman dan mengenal keluarga lelaki yang ia suka. Namun tidak kali ini. Apa gagal menikah tahun lalu membuatnya banyak belajar tentang kehidupan? Ibnu masih terheran. Sembari mengaduk-aduk cangkir kopinya sesekali ia menatap Tya, “Kamu kaya gini bukan karena Farwi kan?” Tia menengguk kopi pertamanya, “Farwi itu pelajaran berharga Nu buat aku, dimana bisa menjadikan aku berfikir lebih dewasa dan jauh ke depan.” Ibnu mencibir “Iya jauh ke depan, kalo sampai jadi nikah sama dia, mungkin aku ketemu kamu 10 tahun lagi dengan penuh luka di sekujur tubuh.” Tya menatap Ibnu sinis, “Dia ga sekejam itu kok, Cuma…” Tya tidak melanjutkan sebab apa yang dikatakan Ibnu memang benar seperti apa yang ia sempat pikirkan dulu.
“Nu, besok kita pengamatan dimana?” Tya mengalihkan pembicaraan. Ia kemudian ingat kalau besok haro minggu. Namun sebelum Ibnu menjawab ia menyela lagi. “Nu, kalo aku ga bisa datang di nikahan kamu, gak apa apa kan?” Ibnu mengangguk paham walau ia sedikit kecewa sahabatnya tak bisa hadir di hari bahagianya. Tapi mimpi Tya lebih berharga, ia tak mau sahabat karibnya itu tak jadi menggapai salah satu mimpinya hanya karena perihal sebuah pesta.
Tya sedang menunggu pengumuman intershipnya ke negeri dimana Nazi dahulu lahir. Jika pihak pendanaan menyetujuinya, ia akan berangkat bulan depan dan meengikuti kegiatan di sana selama enam bulan, tentu saja tak akan bisa menghadiri hari penting sahabatnya yang akan menikah tiga bulan lagi. Saat ini Tya bekerja sebagai tim konservasi flora dan fauna di salah satu perusahaan ternama di Pulau paling eksotik di negeri ini. Sebulan sekali ia diberi jatah dari kantor untuk mudik selama seminggu dan Tya cukup memanfaatkan betul waktu kepulangannya untuk mempersiapkam mengejar mimpinya.

***

Minggu pagi dengan gerimis sendu menyeringai di luar jendela. Tya sudah duduk di meja kerja yang ada di kamar messnya itu sembari memutar cangkir kopinya ke kiri dan ke kanan berulang ulang.

Walau tak semua tanya
Datang beserta jawab
Dan tak semua harap terpenuhi
Ketika bicara juga sesulit diam
Utarakan, utarakan, utarakan.

Potongan lirik yang sudah beberapa jam mengalun pagi tadi, sudah pasti terngiang-ngiang di kepala Tya yang kala itu menatap jendela dengan tatapan kosong. Kemudian perlahan ia menaruh cangkirnya dan mengambil gawainya lalu membuka pesan dari seorang kawan yang sepagi ini belum Tya balas kembali. Ia kehabisan kata ketika hendak membalas apa, takut salah-salah kata. Ibnu mengetuk pintu yang sudah terbuka itu lalu duduk di ujung tempat tidur Tya. Ia paham betul, jika temannya itu pasti sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya tak nyaman. Tya menunjukkan gawainya kepada Ibnu. “Aku gak tau lagi mau balas apa Nu.” Ibnu membaca pesan pada gawai milik Tya. Siapa lagi kalau bukan Tio, lelaki yang membuat Tya bisa berubah menjadi lebih dewasa secara tidak langsung. Lelaki yang akhir-akhir ini namanya selalu disebut oleh Tya dalam doa. Lelaki yang membuat hidupnya di tengah hutan makin menggembirakan saat ia mendapat pesan ketika turun ke kota mencari sinyal. Namun sayang ia hanya menganggap Tya hanya teman saja sebab ia sudah mempunyai calon pendamping hidup.

“Why he can’t stop thinking on you? Feelin on what? Why he can’t explain anythings? Udah kalo dia mancing kaya gini, Bilang aja, jujur Yak. Aku juga gemes sih kadang kalo sama Tio, kayak memberi harapan ke kamu.” Ibnu menaruh gawai di meja. “Ga segampang itu, Nu. Kamu lupa kalau kami hanya berteman, ga ada yang ngasih harapan. Itu mah hanya aku aja yang berharap. Beda loh.”
Ibnu mencibir “Iya beda iya. Habis ini kamu bilang, aku mah apa atuh balablabla. Gemas. Nih ya aku bilang. Dear, you are so special. Kenapa gak lo tanemin itu sih? Trus kamu jawab lagi ‘Lagi aku perempuan bisa apa?’ Katanya aktivis gender, kenapa mengungkapkan gitu aja sulit.”

Pack up and leave everything
Don’t you see what I can bring
Can’t keep this beating heart at bay
Set my midnight terror free
I Will give you all of me
Just leave your lover, leave her for me.

Tiba-tiba terputar lagu cover Leave your lover Sam Smith edisi girl version. “Tuh denger, harusnya kayak gitu, Yak.” Tya menghela napas dan tersenyum, “Kan udah aku bilang kemarin, i am just waiting. You know prioritasku kan, sembuh. Itu dulu lah.” Ibnu menatap raut muka Tya yang ia tahu Tya hanya berpura-pura untuk tegar. Ia tahu bagaimana sahabatnya ini berjuang demi sembuh dari sindrom yang ia derita. “Sorry ya, I just push you down. Now, take your time dear.” Ibnu perlahan keluar dari kamar Tya yang penuh dengan catatan-catatan di tiap dindingnya.

*bersambung*

 

All · Forestry · Landscape · Others Knowledge

Model Dinamika Pertambangan Illegal di Taman Nasional Lore Lindu

Model Dinamika Pertambangan Illegal di Taman Nasional Lore Lindu

 

 

Nur Rizky Amelia, Budi Kuncahyo

Mahasiswa Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Jl. Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

Korespondensi Pengarang : nurrizkyamelia9@gmail.com, telp +628114538881

 

Abstrak

Pertambangan illegal di Taman Nasional Lore Lindu merupakan masalah common property yang open acses yaitu sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang. Namun penambangan emas yang dilakukan di Dongi-dongi ini kemudian menjadi kontroversi antara pemerintah dan penambang. Pemerintah mengklaim bahwa sepanjang tambang dongi – dongi merupakan daerah konservasi maka artinya tidak diperbolehkan adanya kegiatan tambang sedangkan masyarakat Dongi-dongi megklaim bahwa daerah yang dilakukan kegiatan pertambangan tersebut merupakan daerah enclave yang hak sepenuhnya atas kawasan telah diberikan kepada mereka. Kontroversi batas ini menyebabkan pemberhentian paksa kegiatan tambang dan pengusiran penambang oleh pemerintah yang kemudian menjadi konflik yang harus diselesaikan secara hukum. Model dinamika pertambangan illegal dibangun dengan menggunakan software Stella 9.0.2 memperlihatkan resiko yang terjadi akibat pertambangan illegal yang dilakukn di TNLL. Pertambangan illegal pada TNLL akan terus terjadi apabila pendapatan penduduk tidak lebih besar dari PDRB maka kemungkinan penduduk merambah hutan akan lebih besar. Menetapkan kebijakan melalui peraturan yang melegalkan pertambangan di hutan , luas hutan akan terus berkurang. Namun dengan luas hutan yang berkurang ini kegiatan pertambangan di hutan akan tetap menurun karena material emas yang terkandung di lokasi tersebut akan habis.

Untuk lebih lengkapnya dapat diunduh di : nurrizkyamelia_e151160031_laporanpemodelan

All · Forestry · Landscape · Others Knowledge

Model Penduga Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja dalam Operasi Pemanenan Kayu

MODEL PENDUGA KERUGIAN AKIBAT KECELAKAAN KERJA DALAM OPERASI
PEMANENAN HASIL KAYU


Ika Lestari Hutasuhut
E151160111

Departemen Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Jalan Lingkar Kamous Akademi, Kampus IPB Dramaga, PO BOX 168, Bogor 16680, Indonesia

 


Abstrak
Pemanenan hutan merupakan salah kegiatan pengelolaan hutan di Indonesia yang direncanakan sebaik mungkin berlandaskan pada aspek ekonomi, teknis, ekologi, sosial dan budaya. Perencanaan tersebut dirancang sedemikian rupa agar pelaksanaannya memberikan dampak yang baik bagi lingkungan serta memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimal. Namun demikian, sering ditemui kejanggalan di dalam pengelolaan hutan. Dalam praktek pengelolaan hutan khusunya kegiatan pemanenan hutan, seringkali pengelola melupakan peran pekerja dalam kegiatan tersebut. Padahal, pekerja (manusia) berperan sebagai eksekutor dalam kegiatan pemanenan hutan dan memerlukan kompetensi dibidangnya. Sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dalam Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 seorang pekerja harus memiliki sertifikasi kompetensi sebagai bukti yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu. Kompetensi yang wajib dimiliki seorang pekerja kehutanan khususnya dalam kegiatan pemanenan hutan adalah kompetensi dalam penebangan dan perlindungan K3. Pekerja kehutanan di Indonesia sebagian besar tidak memiliki kompetensi dibidangnya. Berdasarkan studi kasus, pekerja kehutanan di Perhutani kompetensi kerjanya diperoleh dari pengalaman kerja. Perusahaan dengan pekerja tanpa kompetensi tidak menjamin terselenggaranya pengelolaan hutan yang lestari. Selain itu, tanpa adanya kompetensi yang dimiliki pekerja bisa saja memberikan kerugian bagi perusahaan berupa dana tambahan yang dikeluarkan untuk membayar kerugian akibat kecelakaan kerja.

 

Untuk selengkapnya dapat diunduh di : Project Pemodelan Sumber Daya Hutan_Ika Lestari Hutasuhut_E151160111

All · Forestry · Landscape · Others Knowledge

Pemodelan Sistem Dinamik Pengelolaan Populasi Rusa Totol Di Kebun Istana Bogor

Pemodelan Sistem Dinamik Pengelolaan Populasi Rusa Totol

Di Kebun Istana Bogor

 

Witno*   E151160091 Budi Kuncahyo*

 

Departemen Ilmu Pengelolaan Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Jalan Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga, PO Box 168, Bogor 16680, Indonesia

 

Abstrak

Populasi rusa totol yang ada di Kebun Istana Bogor memiliki tingkat populasi yang tinggi. Jumlah populasi pada tahun 2014 sebanyak 949 ekor dengan ketersediaan lahan hanya 24 hektar. Kondisi tersebut tidak sejalan dengan ketersediaan pakan serta habitat yang ideal untuk populasi rusa totol yang semakin banyak. Hal ini menjadi suatu indikasi masalah terhadap sistem yang terbangun pada populasi Rusa totol di Kebun Istana Bogor. Hubungan ekosistem yang kurang kompleks, menyebabkan kebutuhan pakan serta habitat Rusa totol perlu untuk dilakukan kajian lebih mendalam. Sehingga pada praktikum ini topik permasalahan yang dibahas adalah jumlah populasi rusa totol yang tidak seimbang dengan ketersediaan pakan serta habitat yang tidak ideal menyebabkan populasi rusa totol menjadi tidak stabil. Manfaat praktikum ini adalah memberikan informasi tentang model system yang baik untuk mengatur pengelolaan populasi rusa totol berdasarkan jumlah ketersediaan pakan agar menciptakan kebutuhan yang ideal terhadap populasi rusa totol. Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah model sistem dinamik dengan tingkat ketelitian menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas digunakan dengan tujuan memperoleh hasil yang baik dengan memberikan pilihan rentang tahun yang dibutuhkan untuk mencapai steady state. Hasil yang diperoleh dari praktikum ini adalah pengelolaan rusa totol di kebun istana Bogor akan mencapai steady state pada tahun 2060 dengan jumlah populasi sebanyak 31 ekor pada lahan 24 hektar dengan ketersedian pakan 19 kg perhari.

Correspondence author, email:witno_valovho@ymail.com

 

Untuk lebih lengkap bisa diunduh di : Witno_E151160091_Tugas_Pemodelan

All · Forestry · Landscape · Others Knowledge

Model Dinamika Perubahan Tutupan Hutan pada Kawasan Hutan Lindung Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah

Model Dinamika Perubahan Tutupan Hutan pada

Kawasan Hutan Lindung Pelawan di Kabupaten Bangka Tengah

 

Oktedy Andryansah[1], Budi Kuncahyo[2]

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Departemen Manajemen Hutan,

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Kampus IPB Dramaga, PO Box 168, Bogor 16680, Indonesia

 

Abstrak

[1] Mahasiswa Pascasarjana pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

[2] Dosen pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

 

Kawasan hutan lindung pantai Pelawan merupakan kawasan hutan lindung dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Oleh karena itu, kawasan hutan lindung pantai menjadi rentan terhadap terjadinya degradasi dan deforestasi. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model dinamika perubahan tutupan lahan dalam hubungannya dengan keberadaan aktivitas pengelolaan hutan lindung tesebut. Model dinamika perubahan tutupan hutan yang dibangun dengan menggunakan software Stella 9.0.2 memperlihatkan resiko degradasi dan deforestasi hutan yang semakin meningkat dengan tidak adanya aktivitas pengelolaan hutan itu sendiri. Pengelolaan hutan yang disimulasikan adalah berupa kegiatan perlindungan hutan, pemberdayaan masyarakat, dan rehabilitasi hutan. Simulasi dengan model dinamika tutupan hutan terhadap skenario pengelolaan hutan yang dilakukan secara parsial tetap akan menurunkan tutupan hutan pada tahun 2034, meskipun masing-masing kegiatan tersebut memiliki dampak penurunan tutupan hutan yang relatif berbeda. Peningkatan luas tutupan hutan pada tahun 2034 hanya akan terjadi bila kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan tersebut dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi. Dengan demikian, salah satu upaya untuk meredam laju deforestasi dan degradasi adalah integrasi seluruh kegiatan pengelolaan hutan. Adanya pengelolaan hutan yang optimal akan mampu meminimalkan bahkan menghentikan laju degradasi dan deforestasi di dalam kawasan hutan lindung Pelawan.

Kata kunci: degradasi, degradasi, model dinamik, tutupan hutan, aksesibilitas, pengelolaan

 

 

Selengkpnya dapat diunduh di : Oktedy_Andryansah_E151160021_tugas_pemodelan